Rabu, 28 Agustus 2019

HADITS TARBAWI MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK SOSIAL



PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk individu ia memiliki karakter yang unik, yang berbeda satu dengan yang lain, ditambah dengan pikiran dan kehendaknya yang bebas. Dan sebagai makhluk sosial ia membutuhkan manusia lain, membutuhkan sebuah kelompok –dalam bentuknya yang minimal– yang mengakui keberadaannya, dan dalam bentuknya yang maksimal –kelompok– di mana dia dapat bergantung kepadanya.
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ  Khalaqa al-Insana min ‘Alaq” yang artinya ”Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah”. Begitu bunyi ayat kedua dari firman-Nya dalam wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad.
Manusia diciptakan Allah dari al-Alaq. Dari segi pengertian kebahasaan, kata ‘alaq antara lain berarti sesuatu yang tergantung. Memang, salah satu periode dalam kejadian manusia saat berada dalam rahim ibu adalah ketergantungan hasil pertemuan sperma dan ovum yang membelah dan bergerak menuju dinding rahim lalu bergantung atau berdempet dengannya. Kata ‘Alaq dapat juga berarti ketergantungan manusia kepada pihak lain. Ia tidak dapat hidup sendiri. Begitu menurut M. Quraish Shihab dalam tulisannya.
Pada masa dewasa ini kehidupan manusia dalam kehidupan sosial harus semakin ditingkatkan. Khususnya kita sebagai Umat Islam. Dan pada pembahasan ini, kami selaku pemakalah akan menjelaskan keutamaan berkehidupa sosial. Menurut Al Qur’an dan Hadits lebih khususnya. Namun tentunya makalah ini sangatlah jauh dari kesempurnaan, mohon maaf beribu maaf jika isi dan penyampaian kami kurang berkenan di hati para pembaca dan pendengar yang budiman.



PEMBAHASAN

تُطْعِمُ الطَّعَامَ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ

“Hendaklah engkau memberi makan, mengucapkan salam kepada siapapun yang engkau kenal maupunyang tidak engkau kenal.” HR. Al Bukhari.
“Orang-orang Mukmin itu bagaikan satu orang. Jika matanya sakit, maka seluruh tubuhnya merasa sakit. Jika kepalanya sakit, maka seluruh tubuhnya ikut terasa sakit.” HR. Muslim
“Rasulullah SAW memerintahkan kami dengan tujuh perkara; menjenguk orang sakit, menganar jenazah, menjawab orang yang sedang bersin, menolong yang lemah, membela yang dianiaya, menebarkan salam, membebaskan orang yang terjebak sumpahnya.” (Muttafaq’alaih)

الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

“Sesungguhnya antara seorang Mukmin dengan Mukmin lainnya bagaikan bangunan yang saling melengkapi (memperkokoh) satu sama lain.” (Muttafaq’alaih)

A.    ISI

Tatkala Nabi Muhammad hijrah dan sampai ke Madinah, maka disana beliau perlu mempersatukan masyarakat Anshor Madinah dan Muhajirin dari Mekkah. Karena untuk membentuk sebuah masyarakat baru, yakni masyarakat yang berlandaskan hukum Islam. Dengan membuat sebuah butir-butir perjanjian agar orang-orang Mukmin saling menjaga satu sama lain. Salah satunya yaitu bahwa orang-orang Mukmin tidak boleh meninggalkan seseorang yang menanggung beban hidup di antara sesama mereka.

Maka tatkala Nabi memberi pelajaran kepada para muslimin, ada seseorang yang bertanya kepada beliau, “Bagaimana Islam yang baik itu?”
Beliau menjawab, “Hendaklah engkau memberi makan, mengucapkan salam kepada siapapun yang engkau kenal maupunyang tidak engkau kenal.” HR. Al Bukhari. Bahkan beliau sempat mempersaudarakan sesama muslim Muhajirin dan Anshor.

Beliau juga membuat pengarahan-pengarahan untuk membuat semakin kuatnya ikatan persaudaraan antar kaum Mukmin, beliau bersabda :

“Tidak masuk surga orang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya.” HR. Muslim
“Seseorang dari kalian tidak disebut beriman sehingga dia mencintai bagi saudaranya apa yang dia cintai bagi dirinya sendiri.” HR. Al Bukhari
Sebuah anjuran untuk mrnguatkan ikatan diantara kaum Mukminin. Pendapat Syeikh Utsaimin.

“Orang-orang Mukmin itu bagaikan satu orang. Jika matanya sakit, maka seluruh tubuhnya merasa sakit. Jika kepalanya sakit, maka seluruh tubuhnya ikut terasa sakit.” HR. Muslim

Itulah sebagian sabda Nabi Muhammad yang membuat para orang Mukmin bersemangat dalam membentuk persatuan.

Maka tidak ada salahnya kita simpulkan perumpamaan-perumpamaan seorang Mukmin dengan Mukmin lainnya :

1.      Bagaikan pohon
“Perumpamaan seorang mukmin seperti tanaman, angin menerpanya ke kiri dan ke kanan. Seorang mukmin senantiasa mengalami cobaan.”
2.      Bagaikan bangunan
“Orang mukmin dengan orang mukmin yang lain seperti sebuah bangunan, sebagian menguatkan sebagian yang lain.” HR. Muslim
3.      Bagaikan tubuh
“Perumpamaan kaum mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi dan menyayangi, seumpama tubuh, jika satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh yang lain akan susah tidur atau merasakan demam.” HR. Muslim
4.      Bagaikan cermin
“Seorang mukmin adalah cermin bagi saudaranya. Jika dia melihat suatu aib pada diri saudaranya, maka dia memperbaikinya.”
5.      Bagaikan lebah
“Perumpamaan seorang Mukmin seperti lebah, apabila ia makan maka ia akan memakan suatu yang baik. Dan jika ia mengeluarkan sesuatu, ia pun akan mengeluarkan sesuatu yang baik. Dan jika ia hinggap pada sebuah dahan untuk menghisap madu ia tidak mematahkannya.”
HR. Al-Baihaqi
6.      Bagaikan pohon kurma
” Perumpamaan seorang mukmin itu seperti pohon kurma, apapun yang engkau ambil darinya pasti bermampaat bagimu.” HR: Thobrani
7.      Bagaikan emas
“Perumpamaan seorang mukimin seperti lempengan emas, kalau engkau meniupkan (api) diatasnya ia menjadi merah, kalau engkau menimbangnya, tidaklah berkurang. ” HR. Baihaqi


Hablumminallah dan Hablumminannas

            Hubungan dengan Allah sangat jelas dan tegas dari ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Namun pada konteks ini, kita perlu membangun hubungan baik sesama manusia, khususnya umat Muslim dan non-Muslim umumnya. Secara umum dan khusus kita jelas harus di anjurkan untuk mempunyai banyak teman atau teman gaul sebanyak-banyaknya. Menurut pepatah bahwa satu musuh terlalu banyak dan seribu teman masih kurang. Namun tetap harus punya benteng diri yaitu Iman, jangan sampai pergaulan kita dengan manusia justru menjauhkan kita dari Allah.
            Dalam bukunya yang diterjemahkan berjudul 10 Hak Dalam Islam, Syaikh Utsaimin mencantumkan hubungan antara kaum muslimin seluruhnya dan hubungan atau hak non muslim. Beliau menyebutkan sebagai berikut ringkasannya :

A.    Kepada Kaum Muslimin

“Rasulullah SAW memerintahkan kami dengan tujuh perkara; menjenguk orang sakit, menganar jenazah, menjawab orang yang sedang bersin, menolong yang lemah, membela yang dianiaya, menebarkan salam, membebaskan orang yang terjebak sumpahnya.” (Muttafaq’alaih)

Itu adalah hak-hak seorang mukmin bagi mukmin lainnya, dan mungkin masih ada hadits lain yang berbeda jumlah atau lafaznya, ada yang enam, atau lima tentang hak itu. Maka kami rangkum sebagai berikut :

Menjenguk orang sakit :
“Hak orang Islam atas orang Islam yang lain ada lima, yaitu: 1. Menjawab salam, 2. Menjenguk orang sakit, 3. Mengantarkan jenazah, 4. Memenuhi undangan, 5. Mendo’akan orang yang bersin.” (Muttafaq’alaih)

Menolong orang lemah :
"Barangsiapa yang memenuhi hajat saudaranya, maka Allah akan memenuhi hajatnya. Dan barangsiapa melapangkan kesusahan saudaranya muslim, maka Allah akan melapangkan baginya kesusahan dari kesusahan yang ada pada hari kiamat. Siapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya kelak pada hari kiamat" ( Muttafaq’alaih )

Mengucapkan Salam:
Sebagaimana sabda Nabi SAW;
“Demi Allah, kalian tidak akan masuk surga sehingga kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sehingga kalian saling mencintai. Maukah aku beritahukan kepada kalian suatu hal yang jika dikerjakan pasti kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam diantara kalian.” HR. Muslim

Dan tentu saja masih banyak lagi cara kita untuk mempererat Ukhuwah Islamiyah sesama Muslim. Agar dapat terwujudnya terbentuknya perasaan kasih sayang sesama Mukmin.
Karena dengan bersama-sama kita berjamaah, akan menjadi kuat serta dihormati oleh kaum lain. “Sholat berjamaah lebih utama dari sholat sendirian dengan selisih 27 derajat.” HR. Muslim
Adapun manfaat yang dapat kita ambil dari ukhuwah Islamiyah yakni :
  • Timbul sikap tolong menolong.
  • Tumbuh rasa saling memahami
  • Menimbulkan rasa tenggang rasa dan tidak menzhalimi satu sama lain.
  • Terciptanya solidaritas yang kuat antara sesama muslim
  • Terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa
  • Terciptanya kerukunan hidup antara sesama warga masyarakat.

B.     Kepada non-Muslim

Orang kafir musta’min yang mereka memiliki hak atas kita untuk mendapat perlindungan.
“Jika salah seorang dari kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu maka berilah perlindungan kepadanya sehingga dia mendengar kalamullah kemudan antarkanlah ke tempat yang aman.”
(QS. At Taubah : 6)

Karena orang non-Muslim termasuk kedalam Ukhuwah Wathoniyah, yakni persaudaraan karena diikat oleh jiwa nasionalisme tanpa membedakan agama, suku, warna kulit, adat istiadat dan budaya dan aspek-aspek yang lainnya.

Dalam rangka menjalin hubungan sosial dalam maknanya yang umum ada beberapa tahapan konseptual yang perlu diperhatikan. Secara garis besar tahapan tersebut dapat dibagi menjadi:
1.      Ta’aruf
Ta’aruf dapat diartikan sebagai saling mengenal. Dalam rangka mewujudkannya, kita perlu mengenal orang lain, baik fisiknya, pemikiran, emosi dan kejiwaannya. Dengan mengenali karakter-karakter tersebut.
2.      Tafahum
Pada tahap tafahum (saling memahami), kita tidak sekedar mengenal saudara kita, tapi terlebih kita berusaha untuk memahaminya. Sebagai contoh jika kita telah mengetahui tabiat seorang rekan yang biasa berbicara dengan nada keras, tentu kita akan memahaminya dan tidak menjadikan kita lekas tersinggung.
3.      Ta’awun
Ta’awun atau tolong-menolong merupakan aktivitas yang sebenarnya secara naluriah sering (ingin) kita lakukan. Manusia normal umumnya telah dianugerahi oleh perasaan ‘iba’ dan keinginan untuk menolong sesamanya yang menderita kesulitan – sesuai dengan kemampuannya. Hanya saja derajat keinginan ini berbeda-beda untuk tiap individu.
Dalam hal ini kita perlu memperhatikan hadits shahih dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: Artinya: “Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim atau yang dizalimi.”
4.      Tafakul
Takaful ini akan melahirkan perasaan senasib dan sepenanggungan. Di mana rasa susah dan sedih saudara kita dapat kita rasakan, sehingga dengan serta merta kita memberikan pertolongan.
Unsur pokok di dalam bersosial adalah mahabbah (kecintaan), yang terbagi dalam beberapa tingkatan :
1.      Tingkatan terendah adalah salamus shadr (bersihnya jiwa) dari perasaan hasud, membenci, dengki dan sebab-sebab permusuhan/pertengkaran. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, Rasulullah saw bersabda “bahwa tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya selama tiga hari, yang apabila saling bertemu maka ia berpaling, dan yang terbaik di antara keduanya adalah yang memulai dengan ucapan salam.”

2.      Tingkatan berikutnya adalah cinta. Di mana seorang muslim diharapkan mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri, seperti dalam hadits: “Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.” (HR muttafaq alaihi)

3.      Tingkatan yang tertinggi adalah itsar, yaitu mendahulukan kepentingan saudaranya atas dirinya dalam segala sesuatu yang ia cintai, sesuatu yang untuk zaman sekarang sering baru mencapai tahap wacana. Patut kita renungkan kisah sahabat Nabi dalam sebuah peperangan, di mana dalam keadaan sekarat dan kehausan dia masih mendahulukan saudaranya yang lain untuk menerima air.

Aktivitas-aktivitas sosial yang  memang merupakan seruan Islam harus dilaksanakan supaya aktivitas sosial terjaga  diantaranya dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut;
1. Silaturahim
Islam menganjurkan silaturahim antar anggota keluarga baik yang dekat maupun yang jauh, apakah mahram ataupun bukan. Apalagi terhadap kedua orang tua. Islam bahkan mengkatagorikan tindak “pemutusan hubungan silaturahim” adalah dalam dosa-dosa besar.
“Tidak masuk surga orang yang memutuskan hubungan silaturahim” (Muttafaq’alaih)
2. Memuliakan Tamu
Tamu dalam Islam mempunyai kedudukan yang amat terhormat. Dan menghormati tamu termasuk dalam indikasi orang beriman.
“…Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya” (Muttafaq’alaih)
3. Menghormati tetangga
Hal ini juga merupakan indikator apakah seseorang itu beriman atau belum.
“…Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia memuliakan tetangganya” (Muttafaq’alaih)
“Dengan rahmat Allah lah kita manusia semuanya bisa salimg menjalin persaudaraan. “Allah menjadikan rahmat itu menjadi 100 bagian. Dia menahannya sebanyak 99 bagian dan menurunkannya ke bumi satu bagian. Dengan yang satu bagian itulah makhluk-makhluk berkasih sayang.”
HR. Muslim

Pesan dari tulisan M. Quraish Shihab
 
Bahwa semua kita berada di bawah kendali dan kuasa Allah. Dengan kuasanya-Nya itulah kita membutuhkan-Nya serta tidak dapat mengelak dari kedudukan sebagai makhluk sosial.
Allah sendiri, sebagai pencipta manusia sebagai makhluk sosial itu, menyeru mereka semua dengan firman-Nya: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa dia antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal” (QS. al-Hujurat ayat: 13).
Semakin kuat pengenalan satu pihak kepada selainnya, semakin terbuka peluang untuk saling memberi manfaat. Karena itu, ayat di atas menekankan perlunya saling mengenal. Perkenalan itu dibutuhkan untuk saling menarik pelajaran dan pengalaman pihak lain, guna meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. yang dampaknya tercermin pada kedamaian dan kesejahteraan hidup duniawi dan kebahagiaan ukhrawi.
Anda tidak dapat menarik pelajaran, tidak juga dapat saling melengkapi, bahkan tidak dapat bekerja sama, tanpa saling mengenal. Saling mengenal yang digarisbawahi oleh ayat di atas adalah “pancing” untuk meraih manfaat, bukan “ikannya". Yang ditekankan adalah caranya, bukan manfaatnya. Karena, seperti kata orang bijak, “memberi pancing jauh lebih baik daripada memberi ikan”.



KESIMPULAN

Manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk individu ia memiliki karakter yang unik, yang berbeda satu dengan yang lain, ditambah dengan pikiran dan kehendaknya yang bebas. Dan sebagai makhluk sosial ia membutuhkan manusia lain, membutuhkan sebuah kelompok –dalam bentuknya yang minimal– yang mengakui keberadaannya, dan dalam bentuknya yang maksimal –kelompok– di mana dia dapat bergantung kepadanya.
Manusia diciptakan Allah dari al-Alaq. Dari segi pengertian kebahasaan, kata ‘alaq antara lain berarti sesuatu yang tergantung. Maka perlu bagi kita untuk menjalin silaturahim dan bergaul dengan baik dengan banyak orang. Serta saling menyebarkan salam kepada orang yang kenal atau yang tidak kenal.
“Hendaklah engkau memberi makan, mengucapkan salam kepada siapapun yang engkau kenal maupunyang tidak engkau kenal.” HR. Al Bukhari.
Dan tentu harus tetap  menjalin Ukhuwah Islamiyah yang kuat, Ukhuwah Insaniyah, dan Ukhuwah Wathoniyah yang baik.

Wallahu a’lam



DAFTAR PUSTAKA

Syafe’i, Rachmat. AL-HADIS (Aqidah, Akhlak, Sosial, dan Hukum). Bandung : Pustaka Setia
Alatas, Alwi. Maret 2006. Proud to be Moslem. Syaamil Cipta Media, Bandung
Rasjid, H. Sulaiman. September 2008. FIQH ISLAM. Sinar Baru Algensindo : Bandung
Umar, Musthofa. Juli 2007. Mengenal Allah Melalui Sunnatullah. Tafaqquh Media : Pekanbaru Riau
An-Nawawi, Imam. 2018. DARUL HAQ, Jakarta
Al Utsaimin, Syaikh Muhammad bin Shalih. Maret 2009. 10 Hak Dalam Islam. Pustaka Al Minhaj, Solo - Jawa Tengah
An Nawawi, Imam. 1995. SYARAH HADIS ARBAIN. Alih bahasa ; Drs. Zaini Dahlan. Penerbit : Trigenda Karya
An Nawawi, Imam. Agustus 2006. Riyadhus Sholihin. Penerbit : Duta Ilmu – Surabaya Indonesia
Said, Muhammad. 2010. Pesan-pesan Rasulullah Dalam Majelis Zikir dan Pikir. Penertbit : Gema Insani
Shihab, Quraish M. 22 Mei 2018. Kultum Quraish Shihab : Ajaran Islam tentang Manusia sebagai Makhluk Sosial

SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF SALAFI, FALSAFI DAN SYI’I



SEJARAH PERKEMBANGAN TASYAWUF SALAFI, FALSAFI DAN SYI’I

Diajukan untuk memunuhi tugas mata kuliah tasyawuf dan akhlak kepada dosen pembimbing Drs. Dudung Abdul Aziz M.Pd.I




Oleh:
Riki Sutarno      : 0101.1701.107
    Asep sukirman  : 0101.1701.087
    Mulyana            : 0101.1701.103




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
STAI DR.KH,EZ MUTTAQIEN
NOVEMBER 2018
KATA PENGANTAR

Assalamu alaikum Wr. Wb.
          Puji Syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah yang maha kuasa karena  atas berkat Rahmat dan Hidayah-Nyalah  yang senantiasa dilimpahkan kepada kita, sehingga dalam penyusunan makalah ini kami diberikan  kemudahan untuk mengumpulkan Reprensi dalam menyusun makalah mengenai, sejarah perkembangan tasyawuf salafi, falsafi dan syi’i.
Adapun maksud dan tujuan membuat makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah tasyawuf dan akhlak. Semester III, tahun akademik 2017-2018.
         Kami juga  sadari bahwa didalam isi makalah yang kami buat ini sesungguhnya masih banyak terdapat kekurangan – kekurangan yang seharusnya itu menjadi suatu hal yang sangat Subtansi dalam makalah ini, oleh karena itu kami sebagai penyusun makalah ini  sangat mengharapkan masukan – masukan agar sekiranya makalah ini dapat sempurna sesuai apa yang kita harapkan dan juga dapat bermamfaat untuk kita semua.
          Kami selaku penyusun mengucapkan banyak terima kasih ketika makalah ini begitu banyak memberikan dampak positif bagi rekan – rekan mahasiswa lainnya, Semoga Allah SWT senan tiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Aamiin.

Wassalamu A’laikum Wr.Wb


Purwakarta, 28 november 2018

DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR................................................................................................ i
DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
A.    Latar belakang.................................................................................................. 1
B.     Rumusan masalah............................................................................................. 2
C.     Tujuan penulisan............................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Khilaf .............................................................................................................. 3
B.     Sejarah al-asy`ariyah dan Al-maturidiyah........................................................ 3
C.     Teologi pemikiran Al-asy`ariyah dan Al-maturidiyah...................................... 6
D.    Perbedaan dan persamaan antara Al-asy`ariyah dan Al-maturidiyah............ 10
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpuln...................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 14







BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasyawuf menjadi du arah perkembangannya. Ada tasyawuf yang mengarah pada teori-teori prilaku, ada pula yang mengarah pada teori-teori yang begitu rumit dan memerlukan pemahaman yang sangat mendalam.
Pada perkembangannya, tasyawuf yang berorientasi kearah pertama disebut tasyawuf salafi, tasyawuf akhlaqi, atau tasyawuf sunni. Adapun tasyawuf  yang kedua disebut tasyawuf falsafi, tasyawuf kedua ini banyak di kembangkan para filosof, disamping sebagai sufi.
B.     RUMUSAN MASALAH
Dari uraian tasyawuf diatas, kami merumuskan beberapa permasalahan yang akan kita bahas dalam makalah ini, yaitu :
a.       Bagaimana perkembangan serta ajaran tasyawuf salafi ?
b.      Bagaimana perkembangan serta ajaran tasyawuf falsafi ?
c.       Bagaimana perkembangan serta ajaran tasyawuf syi’i ?

C.    TUJUAN PENULISAN
Agar dapat memahami :
a.       Sejarah perkembangan tasyawuf salfi
b.      Sejarah perkembangan tasyawuf falsafi
c.       Sejarah perkemabangan tasyawuf syi’i


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah perkembangan tasyawuf salafi
Pada mulanya tasyawuf merupakan perkembangan dari pemahaman dari intuisi-intuisi islam. sejak zaman sahabat dan tabi’in, kecenderungan pandangan seseorang terhadap ajaran islam secara lebih analistis sudah muncul.
1.      Abad kesatu dan kedua hijriah
Perkembangan tasyawuf dalam ajaran islam mengalami beberapa fase. Pada abad pertama dan kedua dikenal  sebagai fase aketisme ( zuhud ). Sikap aketisme ini banyak dipandang sebagai pengantar kemunculan tasyawuf. Pada fase ini, terdapat individu-individu dari kalangan muslim yang lebih memusatkan diri pada ibadah. Mereka menjalankan lonsepsi aketisme dalamkehidupan,, yaitu tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal. Mereka banyak beramal untuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan akherat. Yang memusatkan mereka pada jalur kehidupan dan tingkah laku.
Tokoh yang sangat  paling populer dari kalangan mereka adalah Hasan Al-bashri ( wafat pada 110 H ) dan Rabi’ah Al-adawiyah ( wafat pada 185 H ). Kedua tokoh ini dijuluki sebagai zahid.
2.      Abad ketiga hijriah
Pada abad ketiga hijriah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku. Perkembangan dan doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi ditandai dengan upaya menegakan moral ditengah terjadinya dekadensi moral yang berkembang saat itu sehingga di angan mereka, tasyawuf pun berkembang menjadi ilmu moral keagamaan. Kajian yang berkenaan dengan akhlak ini menjadikan tasyawuf terlihat sebagai amalan yang sangat sederhana dann mudah dipraktekan oleh semua orang terlebih oleh kaum salaf. Kaum salaf tersebut melaksanakann amalan tasyawuf dengann menampilkan akhlak yang terpuji, dengan maksud memahami kandungan batiniah ajaran islam yang mereka nilai banyak mengandung muatan ajaran untuk berakhlak terpuji.
Pada abad ketiga ini mulai ada segolongan ahli tasyawuf yang mencoba menyelidiki inti ajaran tasyawuf yang berkembang masa itu, mereka membaginya menjadi tiga, yaitu:
a.       Tasyawuf yang berintikan ilmu jiwa
b.      Tasyawuf yang berintikan ilmu akhlak
c.       Tasyawuf yang berintikan metafisika


3.      Abad keempat hijriah
Abad keempat hijriah ditandai dengan kemajuan ilmu tasyawuf yang lebih pesat disbanding dengan abad ketiga hijriyah, karena usaha maksimal para ulama tasawuf untuk mengembangkan ajarannya masing-masing. Akibatnya, kota Baghdad satu-satunya kota yang terkenal sebagai pusat kegiatan tasyawuf paling besar sebelum masa itu tersaingi oleh kota-kota besar lainya.
Upaya untuk mengembangkan tasawuf diluar kota Baghdad ini dipelopori oleh ulama tasawuf yang terkenal kealimannya, antara lain:
a.       Musa al-anshari mengajarkan ilmu tasawuf di khurasan (Persia dan irak), dan wafat disana pada 320 H.
b.      Abu hamid bin muhammad ar-rubazy mengajarkannya disalah satu kota di mesir, dan wafat disana tahun 322 H.
c.       Abu zaid al-adamy mengajarkannya di semenanjung Arabiyah dan wafat disana pada 314 H.
d.      Abu ali muhammad bin abdil wahhab as-saqafy mengajarkannya naisabur dan kota syaraz, hingga ia wafat tahun 328 H.
Perkembangan tasawuf diberbagai negri dn kota tidak mengurangi perkembangnnya di kota Baghdad bahkan, penulisan kitab mulai bermunculan, misalnya kitan qutubul qulbi fi mu’amalatil mahbub, yang dikarang oleh abu thalib al makky ( meninggal di Baghdad than 386 H )
Ciri-ciri lain yang terdapat di abad keempat ini adalah semakin kuatnya unsur filsafat yang menmpengaruhi corak tasawuf, karena banyaknya buku filsafat yang tersebar dikalangan umat islam hasil dari terjemahan muslim sejak daulah abbasyiah. Pada abad ini pula dijelaskan perbedaan ilmu zahir dan batin, yang dibagi empat macam:
a.       Ilmu syari’ah
b.      Ilmu thariqah
c.       Ilmu haqiqah
d.      Ilmu ma’rifah

4.      Abad kelima hijriah
Pada abad ini munculah imam Al-ghazali, yang sepenuhnya hanya menerima tasyawuf berdasarkan Al-quran dan Sunnah serta bertujuan aketisme, kehidupan sederhana, penelusuran jiwa, dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang tasyawuf dikajinya dengan begitu mendalam. Di sisi lain, ia melancarkan kritikan tajam terhadap para filosof, kaum mu’tazilah dan batiniyah. Al-ghazali berhasil mengenalkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, dengan seiring dengan aliran ahlu Sunnah waljamaah, dan bertentangan dengan tasawuf Al-hajjaj dan Abu yazid al-busthami, terutama mengenai soal karakter manusia.


5.      Abad keenam hijriah
Sebagai pengaruh besar kepribadian  Al-ghazali, pengaruh tasyawuf sunni semakin meluas kepelosok dunia islam. keadaan ini memberi peluang kepada tokoh sufi yang mengembangkan tariqah-tariqah untuk mendidik para murid mereka, seperti sayyid ahmad ar-rafa’I (wafat pada tahun 570 H) dan sayyid abdul qadir al-jailani (wafat pada tahun 651).
B.     Sejarah perkembangan tasawuf falsafi
Tasawuf ini disebut juga tasawuf nazhari, merupakan tasawuf yang ajarannya memadukan visi mistis dan visi rasional sebagai penggagasnya. Berbeda dengan tasawuf salafi, tasawuf falsafi ini menggunakan terminology filosofi dalam pengungkapannya.
Abad keenam hijriah muncul sekelompok tokoh tasawuf yang memadukan tasawuf mereka dengan filsafat, dengan teori mereka yang bersifat setengah-setengah. Artinya, disebut murni tasawuf bukan, disebut murni filsafat bukan. Diantara mereka yaitu syukhrawardi, penyusun kitab hikmah al-insyraqiyah, syekh akbar muhyidin ibnu arabi, dan lain-lain. Mereka banyak menimba berbagai sumber dan pendapat asing, seperti filsafat yunani dan khususnya neo-platonisme.
Dengan munculnya para sufi yang juga filosof, orang mulai membedakannya anatara tasawuf salafi dengan falsafi. Dengan demikian terbagi menjadi dua yakni tasawuf salafi atau sunni yang berorientasi pada akhlaki sedangkan tasawuf falsafi yakni aliran yang menonjolkan pemikiran-pemikiran filosofis dengan ungkapan-ungkapan ganjilnya. Ungkapan itu bertolak dari keadaan yang fana menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan atau hulul.
Tokoh-tokoh yang terkenal dalam tasyawuf ini antara lain yakni, ibn massarah 391 H. syukhrawardi 587 H. ibn arabi 638 H. bila tasawuf sunni mendapat final dari imam Al-ghazali sedangkan falsafi mendapat final dari ibn arabi. Hampir semua praktik, pengajaran dan ide-ide yang berkembang dikalangan sufi diliputinya dengan penjelasan-penjelasan memadai. Ajaran sentral ibn arabi adalah tentang kesatuan wujud (wahdah al-wujud).
C.     sejarah tasawuf syi’I
Diluar dua ajaran tasawuf diatas, ada juga yang memasukan tasawuf ketiga adalah asawuf si’I atau syi’ah. Pembagian tasawuf ketiga ini didasarkan atas ketajaman pemahaman para sufi dalam menganalisis kedekatan manusia dengan tuhan. Penganut syi’ah di nisbatkan kepada pengikut ali binn abi thalib dalam sejarahnya, setelah perang shiffin, para pendukung fanatik Ali memisahkan diri, dan banyak berdiam di daratan Persia. Daratan Persia terkenal dengan daerah yang telah banyak mewarisi tradisi pemikiran semenjak imperium Persia Berjaya, dan disinilah kontak budaya antara islam dan yunani telah berjalan sebelum dinasti ilsam berkuasa di Persia.
Perkembangan tasawuf syi’I dapat ditinjau dari kacamata keterpengaruhan Persia oleh pemikiran-pemikiran filsafat yunani. Ibnu khaldun melihat kedekatan tasawuf filosofis dengan sekte Islamiyah dan syi’ah. Sekte Islamiyah menyatakan terjadinya hulul atau ketuhanan para imam mereka. Kedua kelompok ini memiliki kesamaan dalam persoalan quthb dan abdal. Bagi para sufi filosof, quthb adalah puncak kaum arifin, sedangkan abdal merupakan perwakilan. Ibnu khaldun juga mengatakan bahwa doktrin seperti ini mirip dengan doktrin aliran Islamiyah tentang imam dan para wakilnya begitu juga tentang pakaian compang-camping yang disebut-sebut berasal dari imam Ali. Jika berbicara tentang tasawuf syi’I, maka akan diikuti oleh tasawuf sunni. Dimana dua tasawuf ini dibedakan berdasarkan kedekatan atau jarak ini memiliki perbedaan. Paham tasawuf syi’I beranggapan bahwa manusia dapat meninggal dengan tuhannya karena ada kesamaan esensi antara keduanya.






BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dari segi linguistik tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan, dan selalu bersikap bijaksana. Sikap yang demkian itu pada hakikatnya adalah akhlak mulia yang mampu mambentuk seseorang ke tingkat yang mulia.
Tasawuf akhlaqi atau salafi adalah tasawuf yang berkonsentrasi pada teori-teori prilaku, atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq mazmudah dan mewujudkan akhlaq mahmudah.
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajarannya memadukan antara visi mistis dan rasional penggagasannya. Berbeda dengan tasawuf akhlaqi, tasawuf falsafi ini menggunakan terminology filosofi dalam pengungkapannya.
Tasawuf syi’I atau syi’ah, tasawuf ketiga ini didasarkan atas ketajaman pemahaman kaum sufi dalam menganalisis kedekatan manusia dengan tuhan.
B.     SARAN
Setelah para pembaca selesai membaca makalah ini, pastilah terdapat banyak kesalahan dalam penulisan makalah diatas, memang makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka penulis mengahrapkan kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan da;am penulisan makalah kami yang selanjutnya.






DAFTAR PUSTAKA

Solihin Muhammad dan Anwar Rosihan. 2008. Ilmu tasawuf. Bandung: Pustaka setia